dakwatuna.com – Indah sekali perumpamaan yang diutarakan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqhul Aulawiyaat atau skala prioritas gerakan Islam jilid satu, ‘Bunga-bunga’ itu tidak tumbuh mekar selain karena laki-laki ingin selalu memaksakan kemauannya, juga karena akhwat muslimahnya yang tidak mau atau memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari keterikatan tersebut.
Ya, seharusnya bunga-bunga itu tumbuh mekar dengan leluasa untuk turut mengharumkan jalan perjuangan yang suci ini. Akhwat seyogianya mulai berani memikirkan dan mengambil alih permasalahan-permasalahan mereka sendiri, membuka lahan-lahan dakwah dan amal serta menangkis dengan tegas suara-suara sumbang wanita-wanita feminis yang diselipkan ke dalam aqidah umat, nilai-nilai dan syariat-syariat Islam.
Dan suara-suara mereka cukup vokal, sekalipun hanya mewakili segelintir manusia yang tidak ada bobotnya di dunia apalagi dalam agama. Namun dalam kenyataannya menurut Yusuf Qardhawi pula, aktivitas dakwah Islam di bidang kewanitaan saat ini masih lemah. Hal tersebut nampak dari lemahnya kepemimpinan wanita untuk mampu berdiri sendiri menghadapi arus sekularisme, marxisme dan feminisme secara tangguh.
Kondisi tersebut boleh jadi disebabkan oleh dua kemungkinan, yang pertama ialah sikap ananiyah atau egoisme laki-laki yang selalu berusaha mendominasi, mengkomando, mengarahkan dan menguasai urusan akhwat. Mereka tidak memberi kesempatan dan peluang kepada para akhwat untuk membina bakat, keterampilan dan kemampuan untuk berjalan sendiri tanpa dominasi para rijal.
Penyebab kedua datangnya justru dari diri akhwat sendiri yang tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang cukup serta kurang kuatnya kerja sama di kalangan mereka.
Padahal menurut Yusuf Qardhawi kepeloporan dan kejeniusan bukan hanya milik laki-laki saja. Bahkan dalam pengamatan beliau selaku dosen, mahasiswi-mahasiswi umumnya berprestasi akademik lebih baik dibanding mahasiswa-mahasiswanya karena lebih tekun. Sehingga selayaknya mereka bisa eksis bila mampu menunjukkan kepeloporan dan kepiawaiannya dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, pendidikan, sastra dan lain sebagainya.
Satu hal yang kontras dengan semangat awal Islam yang memuliakan dan memberdayakan muslimah, ditemui Yusuf Qardhawi justru di zaman kiwari ini. Beliau mengkritik menyusupnya pemikiran ekstrim mengenai hubungan laki-laki dan wanita serta peranan wanita di tengah masyarakat. Aliran pemikiran ini mengambil pendapat yang paling keras sehingga mempersempit ruang gerak wanita. Sehingga dalam pertemuan beliau dengan akhwat di Manchester, Inggris dan di Aljazair, beliau mendapati kondisi tersebut bahwa akhwat dibatasi dalam mengikuti forum-forum diskusi yang luas dan bahkan sekadar untuk menjadi moderator di acara yang khusus untuk mereka pun masih dianggap harus digantikan laki-laki.
Padahal sejak permulaan lahirnya dakwah, gerakan Islam telah memberikan porsi bagi peranan wanita. Dan di sebuah gerakan dakwah Islam terkemuka seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir, ada seksi khusus wanita yang disebut Al Akhwat Al Muslimat.
Namun orang-orang yang berhaluan keras memakai dalil surat al Ahzab ayat 33, “waqarna fibuyuutikunna…” mereka berdalih, “kenapa kalian menuntut wanita agar memegang peran yang menonjol dalam gerakan Islam? Ikut bergerak dan memimpin serta menampakkan keberadaannya dalam gerbong amal islami, padahal mereka telah diperintahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka. ”
Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat tersebut khusus berlaku untuk para istri Nabi karena kesucian dan keistimewaan mereka yang berbeda dari wanita-wanita lain pada umumnya. Sementara ahli tafsir yang lain mengatakan seandainya pun ayat tersebut ditujukan untuk para wanita pada umumnya, maka hal tersebut lebih merupakan arahan stressing keberadaan wanita yang harus lebih banyak di rumah. Namun tentu saja bukan berarti tidak boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu, bermasyarakat dan mengerjakan kebajikan-kebajikan.
Tetapi kenyataan di lapangan atau di dunia realitas tidaklah sesederhana itu, terutama justru bagi akhwat yang sudah menikah. Mereka gamang dalam melangkah. Kadang ia sampai bertanya-tanya sendiri, “istri milik siapa sih?”
Karena selama ini ia tumbuh dalam tarbiyah dan medan harakah ia tidak bisa lagi tutup mata bersikap cuek, apatis atau masa bodoh dengan persoalan-persoalan umat Islam baik skala nasional maupun internasional.
Tantangan-tantangan eksternal umat Islam benar-benar membuatnya geram. Ia sadar benar adanya makar atau konspirasi internasional yang senantiasa menghadang umat Islam (QS. 8:30, 2:120, 2:109, 2:217, 3:118 dan 4:76). Ia pun paham, nubuat atau prediksi Rasulullah SAW bahwa akan tiba suatu masa di mana umat Islam akan menjadi mangsa empuk yang diperebutkan musuh-musuh Islam. Hal itu disebabkan karena umat Islam hanya unggul secara kuantitas tetapi minim dari segi kualitas sehingga membuat mereka tidak lagi disegani oleh musuh-musuh Islam. Ditambah lagi mereka mengidap penyakit wahn yakni cinta dunia dengan cinta yang berlebihan dan takut mati.
Berita-berita di media massa maupun tayangan berita di layar teve kerap membuatnya menangis dan sekaligus ingin memekik menyaksikan kezhaliman Israel Yahudi dan antek-anteknya yang kian merajalela di dunia Islam. Ia ingin berbuat…, ia ingin berdakwah…, ia ingin bergerak….
Namun apa daya persoalan internal yang dihadapi belum juga beres. Selama ini ia sudah bekerja keras menyeimbangkan tugasnya di dalam rumah tangga dengan aktivitas mengikuti ta’lim, mengisi ta’lim, mengikuti baksos untuk orang-orang yang terkena musibah banjir karena jika tidak sigap para missionaris begitu cekatan membantu dengan sekaligus paket pembaptisan. Tetapi rupanya sifat ananiyah (egoisme) dan sense of belonging (rasa kepemilikan) suaminya begitu besar. Tiba-tiba saja ia diminta menghentikan semua aktivitas amal shalehnya dan berdiam di rumah melayaninya dan anak-anak sebagai jalan pintas menuju surga, “Kamu tidak usah repot-repot ngurusin orang, sementara ada jalan pintas menuju surga dengan berbakti pada suami dan keluarga.” akhwat ini pun sebenarnya tak ingin membantah perkataan suaminya, karena ia juga tahu kebenaran tentang besarnya pahala berkhidmat di rumah tangga. Namun apa jadinya dengan sebuah dunia luar yang ingin ia sediakan sebagai bi’ah yang baik bagi anak-anaknya, generasi mendatang. Bukankah ia harus ikut juga berperan untuk itu. Apalagi selama ini ia meniatkan pernikahan adalah satu noktah dari garis perjuangan yang panjang, sehingga menikah harusnya justru akan meningkatkan perjuangannya. Kenyataannya?
Ia sering merasa sedih sementara ia dan banyak akhwat lainnya masih berkutat dengan urusan-urusan internal, para wanita feminis, marxis, liberalis dan missionaris begitu gegap gempita dengan kiprahnya. Mereka memang kecil, sedikit tetapi terorganisir rapi dan memiliki link atau jaringan internasional yang kuat.
Hal tersebut juga terungkap dari pengalaman langsung Yusuf Qardhawi saat berinteraksi dengan para akhwat di Mesir dan Aljazair. Ia banyak menemukan ukhti-ukhti daiyah atau akhwat daiyah yang gesit dan aktif di medan haraki sebelum menikah, tetapi setelah menikah dengan ikhwah yang juga dikenalnya melalui dakwah ia dilarang aktif atau tidak diridhai keluar rumah. Suami-suami seperti ini telah mematikan bara api yang semula menyala menerangi jalan bagi putri-putri Islam.
Sampai ada gadis aktivis dakwah di Aljazair yang menulis surat kepada beliau menanyakan apakah haram hukumnya bila ia melakukan mogok kawin karena takut bila menikah akan menyebabkannya tercabut dari jalan dakwah.
Beberapa akhwat yang pernah penulis temui seusai acara liqa’at ruhiyah akhwat di masjid Al Azhar Jakarta mengutarakan bahwa belakangan ini mereka semakin takwa saja. “Oh ya?”, tanya penulis, berharap itu bahwa dampak positif ikut pertemuan tersebut. “Iya mbak, makin takwa makin takut walimah. Habis takut dapat suami ikhwah yang picik sehingga kita tidak bisa merasakan lagi nikmatnya pertemuan-pertemuan seperti ini.” “Oooh…” gumam penulis, lalu beristighfar berulang kali.
Setiap akhwat insya Allah menyadari bahwa kewajiban terhadap suami dan anak-anak adalah tarikan fitrah yang memang berguna memagarinya agar tidak melesat keluar dari garis fitrahnya selaku istri dan ibu.
Tetapi haruskah hal itu dibenturkan dengan keinginan suci berjihad membela agama Allah? Bahkan Allah SWT berfirman dalam QS. at Taubah ayat 24, bahwa cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya harus diprioritaskan di atas segala-galanya termasuk di atas suami dan anak-anak.
Bagaimana halnya dengan wanita-wanita Afghanistan yang ditemui Zainab al Ghazali di barak-barak pengungsi di Pakistan saat invasi Uni Soviet dulu, mereka telah mempersembahkan segala-galanya, suami, anak-anak, harta dan tanah air mereka demi perjuangan tetapi mereka masih lagi bertanya, “Apa lagi yang bisa kami berikan, korbankan untuk jihad fisabilillah, ya Ibu?” Zainab al Ghazali menjawab dengan penuh rasa haru, “Ada…, kalian masih senantiasa memiliki cinta. Berikanlah cinta, simpati dan doa kalian untuk setiap mujahid yang berjuang di jalan Allah.” Subhanallah! Adakah yang salah dengan mereka, dengan obsesi-obsesi mereka yang luar biasa untuk habis-habisan di jalan Allah?
Belum lagi kisah-kisah indah yang terukir di periode awal Islam ketika Khansa mempersembahkan semua putranya sebagai syuhada di jalan Allah dan bersedih karena tak memiliki lagi putra yang akan dipersembahkannya di jalan Allah.
Begitu pula saling dukung di antara Ummu Sulaim dan abu Thalhah. Agar suaminya tak gundah dan menunda keberangkatannya untuk jihad di jalan Allah, Ummu Sulaim yang hamil tua pun ikut ke medan jihad.
Demikian juga Asma binti Abu Bakar yang sedang mengandung Abdullah bin Zubeir. Di saat hamil tua itu ia berjihad membantu proses hijrah yang sangat luar biasa beratnya. Zubeir bin Awwam sang suami ikut mendukung dan tidak protes, “Ah Asma, kamu tidak realistis, hamil tua seperti ini ikut dalam misi yang sangat berbahaya.”
System Islam yang tegak begitu mendukung kiprah perjuangan muslimah, ditambah team work dan dukungan yang baik di dalam keluarga inti dan dilengkapi pula dukungan sinergis dari komunitas yang ada saat itu. Di saat-saat perang, wanita dan anak-anak yang ikut dikumpulkan di satu tempat dan dikawal ketat oleh beberapa petugas. Dan muslimah-muslimah yang bertugas sebagai tenaga medis dan dapur umum dapat berjihad dengan tenang, sementara anak-anak mereka dijaga oleh wanita-wanita yang sedang tidak bertugas ke medan jihad.
Melihat kisah-kisah indah di atas, seharusnya tak ada ruang tersisa bagi keegoisan dan keapatisan dari ikhwah maupun akhwat.
Kisah-kisah tersebut mengajarkan pada kita dua tugas mulia yakni berbakti di dalam rumah tangga dan berjihad di jalan Allah bukan dua hal yang harus dibenturkan atau dipertentangkan satu sama lain. Dan kebajikan yang satu tak harus meliquidir kebajikan yang lainnya, melainkan menjadi sesuatu yang seiring sejalan secara sinergis.
Sehingga tak ada lagi cerita akhwat yang dipojokkan dan menjadi memiliki guilty feeling (perasaan bersalah), “Ah, dia terlalu aktif sih… jadi anak-anaknya tak terurus.” Atau, “Awas, lho…. Jangan aktif-aktif, nanti suaminya diambil orang.”
Ironis memang, sesama muslimah yang harusnya saling membantu dan mendukung malah memojokkan dan menakut-nakuti kaumnya sendiri yang aktif di medan haraki. Sementara wanita-wanita feminis, marxis, lebaris kompak bersatu menyebarkan kemungkaran.
Tetapi akhwat tak boleh menyerah. Ia memang tak perlu segera menyalahkan pihak-pihak lain yang kurang atau tidak mendukung. Lebih baik ia berpikir positif membangun citra diri akhwat muslimah yang baik, berjiddiyah menjaga keseimbangan dan memiliki kemampuan mengatur skala prioritas. Ia juga harus memiliki kondisi fisik, aqliyah dan ruhiyah yang prima karena ia bekerja di luar kelaziman wanita-wanita lain pada umumnya. Karena ia tidak egois, karena ia memikirkan umat, karena ia punya cita-cita mulia yakni menegakkan syariat Islam dan tentu saja …. karena ia ingin masuk surga dengan jihad di jalan-Nya.
Kisah-kisah indah dalam sirah memang perlu sebagai batu pijakan. Sejarah dapat menjadi sumber inspirasi dan ibrah. Tetapi kita tidak bisa berhenti hanya pada nostalgia-nostalgia kejayaan masa silam, seperti: “Enak ya di zaman Rasulullah wanita benar-benar dihargai dan diberi kesempatan ikut berkiprah dan berjuang. Senang ya, para wanitanya juga saling dukung…”
Secara waqi’, riil yang kini kita lihat dan hadapi adalah kondisi realitas kontemporer yang penuh dengan tantangan-tantangan global. Era globalisasi membuat the world has turned into a small village, dunia sudah berubah menjadi sebuah desa kecil. Laiknya sebuah desa kecil proses interaksi dan saling mempengaruhi terjadi begitu intensif, apalagi teknologi informasi yang berkembang pesat kadang membuat dunia Islam dibanjiri informasi seperti air bah yang juga membawa kotoran-kotoran. Tanpa proses filterisasi, bagaimana jadinya anak-anak kita, wajah generasi mendatang.
Dapatkah kita bersikap apatis pada lingkungan dan dunia luar? Sementara al insan ibnul bi’ah (manusia anak atau bentukan lingkungannya). Jika kita tidak ikut berjuang menghadirkan sebuah lingkungan yang kondusif bagi keimanan dan ketakwaan serta keshalihan anak-anak kita, bagaimana kelak pertanggungjawaban kita kelak di hadapan Allah SWT?
Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan para orangtua, “Didiklah anakmu karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Seorang wartawati muslimah yang menghadiri konferensi wanita sedunia yang diselenggarakan PBB tahun 1995 di Beijing mengatakan bahwa konferensi ini merupakan sebuah perang mahal (menghabiskan dana sekitar 68,7 milyar rupiah), besar (dihadiri 25.000 orang dari sekitar 170 negara) dan berbahaya walau tanpa senjata dan luka.
Karena selain menjadi ajang pertarungan kepentingan-kepentngan politik individu-individu dan negara-negara tertentu, serta konflik berkepanjangan antara negara-negara maju (utara) dan negara-negara berkembang (selatan), juga menjadi sarana bagi para penganut paham everything goes (permisivisme) untuk meluluhlantakkan nilai-nilai suci kehidupan perkawinan dan keluarga.
Mereka menghendaki pasangan-pasangan lesbi ataupun gay juga diakui bentuk keluarga yang normal dan sah karena kebebasan orientasi seksual (apakah hetero atau homo) adalah hak asasi. Mereka juga menghendaki legalisasi aborsi dan pendidikan seks yang independen tanpa campur tangan orang tua bagi remaja.
Melihat begitu berat dan kompleksnya tantangan zaman saat ini, dimana akhwat? Haruskah ia tinggal diam, aman dan suci di rumahnya yang indah dan nyaman sementara dunia terus menjadi bobrok dan mengalami proses pembusukan?
Bukankah seharusnya kita takut jika berhenti menjadi wanita shalihah belaka tetapi tidak mushlihah yang melakukan ishlahul ummah. Karena pernah ada satu negri yang akan dihancurkan Allah seperti yang ada dalam QS. 7:4-5, malaikat berucap bahwa masih ada satu orang shalih yang berdzikir, Allah SWT tetap menyuruh negri itu dihancurkan dan justru dimulai dari orang yang shalih tersebut.
Hendaknya kita juga mawas diri terhhadap firman Allah QS. 25:30 bahwa kita harus takut terhadap bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja. Jika kita bersikap pasif dan defensif dalam melihat kemungkinan-kemungkinan di depan mata, kita (seperti dikatakan dalam sebuah hadits) seperti berada di sebuah kapal besar dan berdiam diri melihat orang-orang sibuk melubangi kapal tersebut sehingga akhirnya kita ikut karam bersama kapal tersebut.
Akankah kita terus tinggal diam karena sibuk berkutat dengan urusan keluarga dan dalam negeri yang tak pernah selesai? Percayalah bahwa Allah akan menolong semua urusan kita termasuk keluarga kita jika kita menolong agama Allah (QS. 47:7) karena keberkahan, khairu katsir (kebaikan yang banyak) akan senantiasa melingkupi perjalanan hidup seorang akhwat.
Masalahnya adalah untuk saat ini dan saat mendatang apa yang bisa dilakukan muslimah? Bagaimana caranya untuk berjuang mewujudkan gagasan mulia menegakkan syariat Allah di muka bumi. Yang jelas tak mungkin berjuang seorang diri tanpa program yang matang, jelas dan terarah serta tanpa adanya amal jama’i yang terorganisir.
Bukankah Allah berfirman dalam QS. 61:4 bahwa Ia menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi seolah-olah menyerupai bangunan yang kokoh. Ali r.a. pun pernah berucap: “Kebenaran yang tidak tertata, terorganisir secara rapi akan mampu dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dengan baik.”
Shalan Qazan mengutarakan bahwa gagasan yang mulia tidak bisa secara serta merta diwujudkan begitu saja, karena sehebat apa pun sebuah gagasan jika tidak diwujudkan dalam sebuah pergerakan dan diperjuangkan oleh para pendukungnya pasti akan segera lenyap dan dilupakan orang.
Keberhasilan sebuah gagasan sangat ditentukan oleh sejauh mana aktivitas, ketangguhan dan kemampuan para pendukungnya dalam merekrut massa serta kemudian membentuk sebuah pergerakan yang terdiri dari sekelompok manusia yang dikendalikan oleh suatu kepemimpinan beserta struktur organisasinya.
Oleh karena itu terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara gagasan Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, Abdurrahman Al-Kawakibi dengan gagasan Hassan Al-Banna dan Sa’id Nursi. Mereka semua sama-sama reformer yang memiliki gagasan pembaharuan, tetapi gagasan al Afghani, M. Abduh dan al Kawakibi hanya menjadi gagasan yang tak terdokumentasikan dalam sejarah. Sementara gagasan Hasan Al-Banna terus bertahan karena melembaga dalam jamaah Ikhwanul Muslimin dan Sa’id Nursi dengan jama’ah An-Nur.
Sayyid Quthub dalam bukunya Hadzad Dien juga meyakini bahwa konsep hanya dapat direalisasikan bila didukung oleh sekelompok manusia yang mempercayainya secara utuh, konsisten dengannya sebatas kemampuannya dan bersungguh-sungguh mewujudkannya dalam hati dan kehidupan orang lain.
Hal ini yang dilalaikan wanita pada masa lalu walau pun penyebab utama kemunduran wanita adalah penyimpangan persepsi tentang wanita itu sendiri. Wanita dibelenggu, dilecehkan dan dizhalimi tetapi tak ada yang dapat menyelamatkannya baik laki-laki maupun dirinya sendiri. Sampai akhirnya Islam membebaskan perempuan tanpa peran perempuan itu sendiri. Pembebasan itu terjadi karena Islam mendirikan bangunan pergerakan yang kuat lagi solid di atas landasan ideologis yang sangat kuat dan wanita ikut masuk ke dalam pergerakan itu sebagai mitra laki-laki.
Bila pengaruh Quran dalam diri individu-individu atau skala negara melemah, maka yang terjadi akan bertambahlah belenggu yang melilit wanita. Hanya orang bodoh atau berpura-pura bodoh yang menganggap Islamlah yang membelenggu wanita sehingga muslimah harus memberikan kontribusi berarti dalam upaya memulai kembali kehidupan yang islami karena hanya dalam kondisi tersebut ia akan merasakan kemerdekaan yang hakiki.
Dan agar pengaruhnya terasa lebih kuat dan hasilnya pun lebih cepat, efisien, tahan lama dan kokoh, hal itu hanya bisa direalisir melalui amal islami haraki jama’i.
Banyak dalil dalam Al-Qur’an seperti 3:104, 61:4, 16:96, 9:71 serta hadits Nabi SAW. “Innama nisa’u syaqaaiqu ar rijal” (sesungguhnya wanita saudara kandung laki-laki), yang menunjukkan bahwa wanita pun memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam perjuangan menegakkan syari’at Allah dan membangun masyarakat Qur’ani.
Islam adalah agama yang merupakan rahmatan lil ‘alamin termasuk untuk wanita. Dan ketika Islam menginginkan kemerdekaan mentalitas perempuan tidak lain karena hendak membangun mentalitas pendobrak atau anashirut taghyir yang mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil, menentang kebatilan dan berinteraksi dengan kebenaran berdasarkan tolok ukur nilai-nilai Rabbani.
Islam ingin memuliakan wanita menjadi wanita aktif yang berinteraksi dengan realitas baru, berpartisipasi memeliharanya dan ikut ambil bagian dalam pengembangan Islam menuju universalitasnya.
Ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah kewanitaan ditujukan untuk mencetak wanita haraki (aktivis) yang aktif dalam pembinaan diri, keluarga, pekerjaan dan masyarakatnya. Bila ia berhasil menjadi wanita yang aktif lagi positif, wanita baru akan merasa nilai dan kedudukannya yang hakiki sebagai wanita.
Sosok itulah yang insya Allah ada dalam diri muslimah. Mereka memiliki kekhasan-kekhasan yang menjadikannya istimewa, yakni:
1. Kepribadian yang khas lagi kuat.
2. Keberanian dan kepercayaan diri
3. Berpikir rasional dan sistematis, memiliki kemampuan intelektual dalam mengkritik, mengevaluasi, membangun, menantang dan memilih.
4. Kemandirian.
Gerakan Islam Akan Menghasilkan Muslimah yang Tidak Gamang Dalam Melangkah
Islam memang piawai dalam mencetak mentalitas muslimah, namun hal tersebut akan nampak semakin nyata bila mereka melibatkan diri secara aktif dalam sebuah pergerakan/harakah. Ada beberapa manfaat nyata dari keterlibatannya tersebut, antara lain:
1. Menyadarkan muslimah dan wanita pada umumnya akan nilai dan kedudukannya di tengah masyarakat. Ia akan berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan problematika umum di masyarakat.
2. Memperoleh wawasan yang ideal, memadai dan selektif.
3. Menghilangkan keengganan, kegamangan, kepasifan dan ketergantungan pada orang lain.
4. Membersihkan kabut dan karat dalam pemikiran muslimah karena adanya stagnasi pemikiran dan sifat-sifat buruk seperti individualis, egois, apatis.
5. Menghindarkannya dari kejenuhan karena ia disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat untuk dakwah Islam. Ia juga akan terhindar dari kegiatan sia-sia seperti bergunjing, bersenda gurau dan menyebarkan desas-desus.
6. Membantunya meningkatkan ketinggian spiritual.
7. Mendidik muslimah untuk gemar bekerja sama dalam hal-hal yang bermanfaat.
8. Menjauhkan perhatiannya dari hal-hal yang kurang berarti seperti mode dan dandanan make up untuk menggoda laki-laki dengan mengandalkan penampilan fisik.
9. Menumbuhkan keberanian dalam diri muslimah untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan dengan nilai-nilai islami.
10. Berta’aruf, berinteraksi dan saling membina, mendidik dengan saudara-saudara seiman dan sefikrah.
11. Berani melawan kemungkaran dan mampu menanggung beban, kesulitan dan derita dengan sabar.
12. Menjadikan urusan-urusan hidupnya terprogram, teratur dan tertata dengan baik.
13. Menyebabkan terasah dan tergalinya kemampuan intelektual, kreativitas berpikir dan keterampilan tangannya dengan kreasi dan potensi yang tidak hanya berguna untuk dirinya saja.
14. Mempertajam sikap kemandirian muslimah tetapi tetap dalam koridor syar’i.
Pengaruh Gerakan Islam bagi Proses Perubahan di Masyarakat
Paling tidak ada tiga pilar utama perubahan di tengah masyarakat yakni:
1. Gagasan yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia.
2. Aktivis-aktivis yang tidak kenal lelah dalam mendukung dan menyebarluaskan gagasan tersebut.
3. Kepemimpinan yang baik, kokoh, memiliki kapabilitas memadai dan dapat diteladani.
Munculnya sebuah pergerakan dalam proses perubahan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik akan memunculkan pengaruh-pengaruh positif yang nyata. Di antaranya ialah masyarakat jadi terdorong untuk segera berada dalam proses perubahan. Kemudian banyak individu yang tergerak untuk ikut serta dalam gerakan perubahan sehingga dapat menjadi alat untuk membedakan mana anggota masyarakat yang baik, hanif dan siap diajak berubah serta mana yang tidak.
Selain itu pergerakan juga akan mampu menyingkirkan musuh-musuh perubahan dan pembaharuan di masyarakat serta sebagai gantinya menumbuhsuburkan semangat pergerakan dan pembaharuan di dalam masyarakat.
Selanjutnya harakah atau pergerakan akan memungkinkan terbukanya pintu ijtihad, menumbuhkan kesadaran umum dan menggoyahkan sendi-sendi diktatorisme, sekularisme dan atheisme.
Akhirnya sebuah harakah akan sangat membantu proses lahirnya individu-individu muslim, rumah tangga muslim dan masyarakat muslim serta membuat rencana jitu untuk mengobati penyakit-penyakit yang ada di tengah masyarakat.
Bila Indonesia benar-benar ingin melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan yang mendasar dan menyeluruh, tak ada salahnya mencoba melongok agenda perubahan yang ditawarkan ulama besar Mesir Hasan Al-Bana karena begitu rinci dan akurat.
Para akhwat seyogianya ikut terlibat dan berperan aktif untuk mewujudkan agenda perubahan tersebut di tengah masyarakat Indonesia.
Hasan Al-Bana mengingatkan agar tidak tergiur dengan system Eropa yang seronok, syahwati tetapi membawa kepada kehancuran dan sebaliknya segera berpaling pada system Islam yang terhormat, penuh dengan nilai-nilai kebenaran, ketegaran, keberkahan dan pengendalian diri.
Beliau membagi agenda perubahan dan pembaharuan tersebut dalam 3 tema besar dengan 50 butir yang melingkupi semua sektor kehidupan manusia.
A. Politik, peradilan dan administrasi.
1. Menghancurkan fanatisme kelompok dan mengarahkan potensi umat Islam secara politik dalam keseragaman orientasi dan kesatuan barisan.
2. Perbaikan undang-undang sehingga sesuai dengan tuntutan syariat Islam dalam setiap cabangnya.
3. Meningkatkan kekuatan pasukan, memperbanyak kelompok pemuda untuk dilatih dan berjihad .
4. Menguatkan ikatan antar wilayah Islam terutama negeri-negeri Arab.
5. Meningkatkan semangat keislaman di kantor-kantor pemerintah sehingga seluruh pegawai merasa butuh kajian Islam.
6. Melakukan kontrol terhadap perilaku pribadi pegawai agar bisa membedakan kepentingan pribadi dan pekerjaan.
7. Menunaikan pekerjaan, tidak ditunda-tunda dan menghindari lembur.
8. Menghapus risywah (suap) dan komisi.
9. Menimbang setiap aktivitas pemerintahan dengan ajaran Islam dan jadwal kegiatan tidak berbenturan dengan waktu shalat.
10. Memasukkan dan melatih ulama untuk bekerja dalam bidang militer dan kesekretariatan.
B. Sosial dan ilmu pengetahuan.
1. Membiasakan masyarakat berpegang pada etika dan kesopanan serta menindak tegas para pelanggarnya.
2. Mengatasi persoalan kaum wanita dengan solusi yang dapat menggabungkan antara peningkatan diri dan sekaligus pemeliharaan kehormatannya sesuai ajaran Islam.
3. Memberantas prostitusi dan zina harus dianggap kejahatan dan kemungkaran yang harus ditindak dan dihukum tegas.
4. Menghancurkan praktek perjudian dengan segala bentuk.
5. Memerangi minuman keras dan obat-obatan terlarang.
6. Memerangi tabarruj, pamer aurat dan mengarahkan para wanita untuk berperilaku sebagai muslimah shalihah.
7. Meninjau kembali kurikulum pendidikan kaum wanita dan melakukan pembedaan sebanyak mungkin di antara kurikulum untuk siswa dan siswi.
8. Melarang siswa dan siswi bercampur baur dalam satu kelas.
9. Memompakan semangat para pemuda untuk menikah, membangun keluarga dan mendapatkan keturunan.
10. Menutup klub-klub malam, panggung tarian maksiat dan sejenisnya.
11. Mengontrol kegiatan pentas dan peredaran film-film dan kaset-kaset (VCD).
12. Menyeleksi nyanyian-nyanyian yang berkembang di masyarakat dan menyediakan alternatif pengganti.
13. Menyeleksi produk siaran radio dan teve yang dikonsumsi masyarakat.
14. Menyita cerita-cerita dan buku-buku porno.
15. Mengatur keberadaan vila-vila agar tidak disalahgunakan.
16. Membatasi waktu buka warung-warung dan mengontrol kesibukan pengunjungnya.
17. Menggunakan warung-warung itu sebagai tempat pengajaran baca-tulis.
18. Memerangi tradisi negatif dalam perilaku ekonomi, akhlak, dan lain-lain.
19. Menjadikan aktivitas menentang hukum Allah sebagai sasaran amar ma’ruf nahi munkar.
20. Menghimpun lembaga pendidikan resmi dan masjid-masjid di kampung-kampung.
21. Menetapkan kurikulum agama sebagai materi pokok di setiap sekolah dan perguruan tinggi.
22. Mendorong kegiatan menghafal al Quran di kantor-kantor dan sekolah serta menjadi syarat kelulusan dan untuk memperoleh ijazah.
23. Menetapkan strategi pengajaran yang baku dalam rangka meningkatkan dan mendongkrak kualitas system pendidikan. Menyatukan kurikulum-kurikulum yang memiliki tujuan beragam.
24. Memberikan porsi cukup bagi mata pelajaran bahasa Arab sebagai bahasa utama.
25. Memberikan porsi perhatian kepada materi sejarah, sejarah nasional, kebangsaan dan peradaban Islam.
26. Memikirkan sarana-sarana untuk menyatukan keberagaman di masyarakat
27. Menghapuskan gaya hidup kebarat-baratan.
28. Memberikan pengarahan yang baik kepada para penerbit dan penulis.
29. Memperhatikan urusan kesehatan masyarakat.
30. Memperhatikan keadaan kampung, menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan penertiban lingkungan, kebersihan, sanitasi serta membersihkannya dari nilai-nilai yang negatif.
C. Ekonomi
1. Mengatur pengelolaan zakat baik penggalangan maupun pendistribusiannya di sektor sosial maupun kemiliteran.
2. Mengharamkan riba dan mengatur system perbankan islami.
3. Mendorong dan menggalakkan kegiatan ekonomi untuk membuka lapangan kerja dalam negeri dan melepaskan diri dari ketergantungan tenaga kerja asing.
4. Melindungi masyarakat umum dari penindasan akibat monopoli
5. Memperbaiki nasib dan gaji para pegawai rendahan dan memperkecil gaji pegawai tinggi.
6. Melakukan pengaturan tugas yang proporsional di kalangan pegawai birokrasi.
7. Memberikan dorongan dan pembinaan kepada para buruh dan tani
8. Memberikan perhatian pada peningkatan keterampilan kerja dan aktivitas sosial
9. Memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan alam untuk rakyat
10. Mendahulukan proyek-proyek yang primer dan mendesak daripada yang sekunder
D. Konsep ‘Ailah (extended family) Sebagai Terobosan Solusi
Melihat begitu luar biasanya agenda perubahan dan pembaharuan serta perbaikan masyarakat yang ditawarkan Hasan Al Banna, yang segera terpikir adalah gambaran sebuah masyarakat yang baik dan diridhai Allah sebagai istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuri tidak menjadi slogan kosong belaka.
Sebagai ibu, akhwat pun lalu menjadi berharap banyak bahwa agenda tidak mampu menghasilkan sebuah dunia yang baik, aman dan kondusif bagi tumbuh-kembang dan terpeliharanya iman dan takwa anak-anaknya. Bila tidak bagaimana ia akan dapat menutup mata kelak dengan tenang, meninggalkan anak-cucunya di tengah-tengah dunia yang centang perentang.
Namun yang jelas semua itu tidak akan dengan mudah begitu saja diraih atau diwujudkan dalam sekejap mata tanpa perjuangan keras termasuk dirinya (Ar-Ra’d: 11)
Bila setiap orangtua baik ayah maupun ibu menyadari upaya perbaikan masyarakat akan berdampak langsung bagi kebaikan keluarga dan generasi mendatang kiranya tak akan ada suami-suami yang memprotes kiprah akhwat yang menjadi istrinya. Bahkan ia pun turut bahu membahu memperjuangkan terwujudnya gagasan mulia itu.
Satu solusi jitu ditawarkan oleh Dr. Lois Lamya Al-Faruqi, seorang muslimah Amerika. Beliau membedakan kedudukan dan peran wanita dalam 4 fase sejarah. Fase pertama masyarakat Arab abad ketujuh pra Islam, fase kedua periode awal Islam, fase ketiga abad-abad kemerosotan M) dan fase keempat periode pembaharuan (1900-sekarang).
Dr. Lamya menginginkan bahwa fase pembaharuan ini akan mengembalikan kondisi wanita seperti di masa-masa emas periode awal Islam.
Beliau menawarkan pola ‘Ailah (extended family) atau keluarga besar sebagai suatu lembaga yang dapat memberikan keuntungan yang sangat besar bagi laki-laki maupun wanita, jika lembaga ini eksis di tengah-tengah masyarakat Qur ani.
Beberapa keuntungan kongkret yang di dapat dengan diterapkannya ‘ailah ini akan sekaligus menjadi solusi bagi kegamangan akhwat untuk menyelaraskan tugas-tugas fitrahnya dengan tuntutan untuk menjadi akhwat haraki yang aktif melakukan perbaikan-perbaikan di tengah masyarakatnya.
1. ‘Ailah (extended family) melindungi baik suami/ikhwah maupun istri/akhwat dari sikap egoisme dan kekakuan individualisme.
2. ‘Ailah memungkinkan terbinanya karir maupun aktivitas dakwah akhwat haraki tanpa harus mengorbankan tugas-tugas fitrahnya selaku istri, ibu dan anak dari orang tuanya yang bisa jadi sudah lansia dan ikut tinggal di dalam rumahnya. Di dalam ‘ailah akan selalu terdapat orang dewasa lain untuk membantu istri atau ibu yang bekerja tersebut. Akhwat-akhwat aktivis yang berada dalam ‘ailah tidak akan menderita beban fisik ataupun emosi karena kelebihan beban kerja. Dan ia juga tidak akan merasa bersalah karena mengabaikan tanggung jawab perkawinan, keluarga dan keibuan.
3. ‘Ailah menjamin system sosialisasi yang memadai bagi anak-anak karena ia tidak semata-mata mendapatkannya dari orangtua.
4. ‘Ailah memberikan keberagaman psikologis dan social dalam kebersamaan orang dewasa dan anak-anak.
5. ‘Ailah mencegah kemungkinan terjadinya pemisahan antar generasi, karena dalam ‘ailah hidup 3 generasi atau lebih yang hidup bersama dan berhubungan secara intensif sehingga menjembatani gap di antara generasi.
6. ‘Ailah menghapus masalah loneliness (kesepian) yang terkadang mendera wanita-wanita, laki-laki yang masih melajang atau pun para kakek dan nenek.
7. ‘Ailah dapat memberikan perawatan memadai dan manusiawi bagi para lansia.
Bila kesemua formula tersebut coba kita terapkan ditambah kemampuan bekerja sama secara sinergis di antara akhwat anggota harakah juga dengan masyarakat pendukungnya, insya Allah mudah-mudahan setiap akhwat tidak akan mengalami kegamangan dalam meretas jalan menuju ridha illahi. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar