Minggu, 08 Agustus 2010

sang motivatorr

jilbab putihnya yang melewati pinggul melambai diterpa angin siang Pamulang, ia mengenakan gamis hijau daun dan menyandang tas selempang. Langkahnya mantap. Sesekali dua bola matanya yang bulat mengitari jalanan, berharap ada sampah yang bisa ia ais untuk dikumpulkan.

Sekilas, tak ada seorang pun yang akan menyangka jika gadis mungil bernama lengkap Ming Ming Sari Nuryanti dengan gamis dan jilbab panjangnya ini adalah seorang pemulung. Pakaiannya bersih, aura terpelajar terpancar dari tubuhnya, senyumnya manis dan ia sangat ramah.
mingming

mingming

“Dulu saya berangkat ke kampus dari rumah di Rumpin, Bogor,” kata mahasiswi Akuntansi Unpam Semester 2 ini. Dalam jarak tak kurang dari 10 km yang menghabiskan waktu hingga 3 jam itulah ia kerap sambil bekerja, memulung bekas gelas atau botol air mineral maupun kemasan bekas susu formula. Pekerjaaan yang dilakoninya sejak tahun 2004, saat ia duduk di bangku kelas satu SMA Negeri 1 Rumpin, Bogor.

Dua bulan belakangan gadis yang akrab disapa Muna ini tinggal bersama teman-teman kampusnya di sekretariat UKM Muslim yang terletak di belakang kawasan kampus Unpam. Orang tua, terutama ayahnya, Syaepudin (45), akhirnya mengijinkan Muna tinggal bersama teman-teman karena efektivitas waktu.

Sampai saat ini, aktivitas memulung Muna memang masih berjalan meski tidak seaktif biasanya karena ia harus kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Semenjak tinggal di UKM Muslim beberapa temannya bahkan membantu dengan mengumpulkan gelas dan botol bekas air mineral selepas ada kegiatan kampus.

Sebelumnya, Muna telah menjalani aktivitas memulung sejak kelas satu SMA, tahun 2004. Ayahnya bekerja di tempat bowling di kawasan Ancol sebagai pemungut bola dan pembawa perlengkapan pengunjung.

Lepas SMP, Muna sadar bahwa keluarganya sedang dalam taraf ‘paceklik’, pengunjung bowling sepi hingga penghasilan sang Ayah menipis. Saat itulah, salah seorang teman ayahnya mengatakan bahwa gelas dan botol air mineral bekas dapat menghasilkan uang. Maka mulailah Muna sekeluarga memulung untuk kemudian dijual kepada pengepul.

“Awalnya minder pas pertama kali mau terjun buat mulung, shock gitu lah. Seiring dengan perjalanan waktu akhirnya ada kesadaran bahwa islam tidak mengajarkan kita untuk minder dan menangisi nasib, kita harus sabar dan tawadhu, dijalani dengan senang hati semangat semuanya dilakukan dengan niat karena Allah,” kata gadis yang sudah aktif di Rohis sejak SMA ini.

Bukan hal yang mudah bagi anak SMA untuk menjalani profesi sebagai pemulung. Di saat ABG lain sedang berlomba menampilkan sisi paling menarik dari diri mereka.

“Pernah ketemu teman satu sekolah pas lagi mulung. Tadinya saya mau menyapa duluan tapi dia langsung kabur, mungkin shock melihat temannya dalam kondisi ini. Mungkin dia belum pernah ketemu sama temen yang dalam keadaan memulung,” kata Muna yang selalu berusaha untuk berbaik sangka pada orang lain.

Lambat laun, guru-guru di sekolah pun tahu kondisi Muna karena ia sering telat bayar uang sekolah. “Sering dapat kebijakan dari sekolah karena saya bilang kalau saya dapat uang itu ya terbatas, paling 3 bulan sekali karena dapat uang itu dari memulung,” ungkap sulung dari tujuh bersaudara.

Meski dalam keterbatasan, bukan alasan bagi Muna dan juga keluarganya untuk mengorbankan pendidikan. Terbukti, ia dan adik-adiknya tak ada yang tidak bersekolah. Adik-adiknya, Lisa Sab Nuryanti saat ini sedang menunggu pengumuman hasil tes masuk di UIN. Melati Sab Putri saat ini duduk di kelas 2 SMAN 1 Rumpin, Kenny Puja Nurwati kelas 1 SMP Informatika, Rohani Nurfitri kelas 6 SDN Kertajaya VI, Romadhon Syawaludin kelas 5 SDN Kertajaya VI, dan Mia Syaprianti kelas 2 SDN.

Bukan hal yang mudah pula bagi Muna menyicip bangku kuliah. Lulus SMA, sambil menunggu waktu masuk perguruan tinggi, ia sempat bekerja di TemPrint di kawasan Palmerah selama dua bulan. Saat memilih universitas, diantara sekian banyak pilihan, ia memilih Unpam dengan pertimbangan biaya sebesar Rp. 900.000 dan dapat dicicil perbulan Rp. 150.000. Padahal jarak yang harus ia tempuh bukan jarak yang dekat. Sebelum tinggal di UKM MUslim, ia malah terbiasa berjalan kaki atau menumpang truk untuk pulang dari Pamulang ke Bogor.

“Dulu makan juga Cuma sekali, di rumah aja, tapi porsinya jadi dobel,” kenangnya, tertawa. Saat ini, ia boleh sedikit berlega hati karena bisa memasak dan tinggal dekat dengan kampus. “Tiap minggu saya pulang ke Rumpin” katanya.

Di sela-sela kesibukannya kuliah, Muna masih sempat mengumpulkan gelas dan botol aqua bekas hingga kini. “Alhamdulillah saya ngga merasa bosan dengan pekerjaan ini,” kata kelahiran 28 April 1990 ini. Meski begitu, ia tak menampik jika lahan sekarang semakin sempit akibat jumlah pemulung yang bertambah dan ruang geraknya yang berkurang. Saat ini untuk mengumpulkan satu karung botol dan gelas air mineral bekas ia memerlukan waktu berhari-hari, padahal perkilogram botol mineral bekas hanya seharga Rp. 5000 dan gelas air mineral Rp. 10.000.

Tidak sedikit yang mencibir atas profesi yang dilakoni gadis yang mengidolakan Rasulullah ini. Bahkan komentar bernada negatif kerap didapatnya dari tetangganya di Rumpin, tak jarang ia menjumpai raut muka tak bersahabat dari orang-orang yang dikenalnya. Meski begitu, Muna mengaku tak pernah drop semangat dengan semuanya itu. “ Alhamdulillah nggak sempet drop semangat karena pendapat-pendapat yang ngga enak. Karena kan kalau yang namanya komentar negatif begitu lebih baik tidak dipedulikan. Kan yang memberi rizki itu Allah, bukan mereka,” tukas Muna ringan.

Cita-citanya adalah menjadi seorang pendakwah yang sekaligus akuntan, ini sesuai dengan hobinya yang senang menasehati dalam kebenaran (watawassaubil Haq). Apa targetnya dalam waktu dekat? “Menikah sebelum S1,” tutupnya mantap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Republika Online

Beranda